Bagaimana menilai airmata yang ditangiskan seorang wanita? Sebuah kelemahan dengan kekuatan tiada tara? Ataukah bahasa yang bermakna sejuta kata? Aku sendiri, tidak pernah bisa memahaminya.
Sampai pada hari itu, seorang pasien dibawa masuk. Airmata mengalir dipipinya. Tanpa kata, tanpa suara. Kami mengangkat tubuhnya, memindahkan ia dari brankard ke meja operasi. Sebuah prosedur standar disini adalah meminta pasien menyebutkan nama dan tindakan yang akan dilakukan, untuk mencegah kekeliruan prosedur. Dengan suara serak ia menjawab sewaktu ditanya namanya. Tetapi hanya gelengan dan anggukan sewaktu kami konfirmasi tindakan yang akan kami kerjakan. Airmatanya membanjir deras.
Aku sungguh tidak mengerti. Siapapun yang dibawa masuk kesini tidaklah dengan suasana hati ceria ataupun berbunga-bunga. Tetapi biasanya airmata telah kering diluar sana, di poliklinik atau diantara keluarga. Lalu biasanya hanya tampak wajah sedih dan sorot mata yang menyuarakan penerimaan dan harapan untuk bisa menyambung sisa hidup yang ada.
Tetapi air mata….? Sederas ini…sepedih ini….? Disini…?
Ahli anestesi memanggil-manggil namanya.
“wakarimasuka?”
“wakarimasuka?”
“Me o agete kudasai”
Kugenggam tangannya, kurasakan gerakan menyambut genggamanku, tapi matanya tetap terpejam.
“Mo owarimashita yo…”
Mata itu tetap terpejam. Dadanya yang kini rata terguncang-guncang. Airmata mengalir deras di pipinya. Tak ada isakan, tak ada tangisan. Bahasa kepedihan yang ketika aku kira memahaminya, sesungguhnya aku tidak tahu apa-apa.
Disini aku berada. Kulepas jari-jemarinya. Aku tidak layak untuk menjadi ada ataupun memberikan mental support untuknya. Aku bukanlah siapa-siapa, aku adalah bagian dari kepedihannya. Kali ini tidak satupun dari tim kami yang memberinya tissue.
Kutatap wajahnya saat mendorong bednya ke recovery room. Dalam lorong-lorong instalasi bedah pertanyaan itu memantul berulang. Padaku, pada dinding stainless steel itu, pada pintu-pintu kaca, pada lemari depo obat, pada kebisuan selepas jam kerja. Sebuah pertanyaan yang sulit dinyatakan.
Apalah yang patut kubanggakan?
Apalah yang layak kukeluhkan?
Apalah daya yang kupunya?
Apalah tahu yang kupunya?
Kutatap bayangku dalam cermin wastafel kamar ganti. Hanya satu hal yang kumengerti: masih banyak yang tidak aku mengerti.
Tokyo, natsu 2007.